Topeng betawi dalam kaca mata mistis

Orang Betawi dulu menganggap Topeng memiliki kekuatan magis. Selain dapat menolak bala, juga dinilai mampu menghilangkan kedukaan karena kematian, sakit atau pun petaka lainnya. Selama ini Topeng sering diartikan sebagai kedok. Tetapi bagi orang Betawi, Topeng berbeda dengan kedok, Kalau kedok adalah penutup muka, sedangkan topeng adalah pertunjukan. Misalnya di Jakarta sering kita dengar sebutan Topeng Monyet yang berarti pertunjukan dengan menggunakan monyet. Maka yang diartikan Topeng Betawi di sini, sebenarnya adalah pertunjukan dalam bentuk teater yang mengandung aspek tari, nyanyi, narasi dengan dialog maupun monolog.
Menurut Antropolog dari LIPI, Ninuk Kleden Probonegoro, ada dua narasi tentang asal muasal Topeng Betawi yang menjadi cikal bakal pagelaran yaitu narasi yang berhubungan dengan Jaka Pertaka, dan satu lagi narasi tentang Sukma Jaya. Narasi tentang ini memperlihatkan bahwa Topeng dianggap mempunyai kekuatan magis.

Ada tiga hal yang dirujuk oleh kedua narasi tersebut. Pertama, Dewa Umar Maya yang dapat menghidupkan dan mematikan Ratna Cuwiri dan menghidupkan patung kayu, dianggap mempunyai kesaktian. Dewa yang menyamar sebagai dalang ini membawa kesaktiannya dalam perkumpulan Topeng. Dengan alasan itulah rupanya orang Betawi menganggap Topeng mempunyai kekuatan magis, yang bisa menghilangkan kedukaan karena kematian, sakit atau pun petaka lainnya. Karena itu pula acara ketupat lepas hanya bisa dilakukan dalam Topeng dan tidak pada bentuk teater Betawi yang lain.
Ketupat lepas adalah ritual yang berhubungan dengan nazar si empunya hajat. Melalui upacara yang disaksikan oleh Kembang Topeng, menandakan bahwa si empunya hajat telah melunasi nazarnya, Upacara dilakukan dengan ketupat yang diletakkan di atas beras kuning bercampur dengan uang logam. Pada saat bersamaan Kembang Topeng dan orang yang dinazari memegang ketupat itu dan dari dalam ada orang yang membacakan doa. Berikut ini adalah kutipan doa dari grup Topeng Sinar Jaya, Bekasi. “… Tempat dulu ada ucapan pada anaknya. Kalo liwat dart susah, keberkahan, panjang umur, murah rezeki. Kalau anaknya disunatin, kaulan nanggap topeng, seberkah, dua berkah. Membayar kaulan, minta doa selamatnya dibayar uang, sekarang kaulannya lagi dibayar.” Setelah doa selesai dibacakan, ketupat dihentakkan dan uang diperebutkan oleh anak-anak yang telah siap di bagian muka. Kembang Topeng dianggap mempunyai kekuatan supranatural, seperti halnya Sukma Jaya yang menjadi ronggeng Topeng bernama Gandawirang. Kaki Jugil dalam cerita Jaka Pertaka telah memberi hidup sebuah patung kayu perempuan. Kesaktian inilah yang dibawa ke dalam Topeng. Dari narasi tersebut, Topeng diyakini mempunyai sifat religius dan membedakan dari teater-teater Betawi yag lain.
Ritual Topeng

Bagi masyarakat Betawi, Topeng digunakan dalam ritual kehidupan yang dianggap cukup penting, seperti perkawinan dan khitanan. Pada kedua ritual itu. Topeng dipagelarkan untuk memeriahkan pesta. Juga biasanya, Topeng digelar dengan tujuan membayar nazar. Meskipun harus membayar mahal untuk sebuah pertunjukan Topeng, rasanya itu tidak menjadi persoalan. “Biar tekor asal kesohor,” begitu ungkapan kalangan masyarakat Betawi tertentu dalam menjaga imej status sosiainya. Nah, bila si empunya hajat inggin menggelar Topeng, ia lebih dulu membayar panjer (uang muka) pada grup yang telah dipilih, setelah ada kesepakatan biaya. Kekurangannya akan dibayar pagi setelah pesta usai, uangnya diambil dari amplop sumbangan dari para tetamu.
Pentingnya kesaksian bahwa nazar sudah dibayar melalui pagelaran Topeng, tidak berarti dengan sendirinya semua orang Betawi menganggap Topeng itu penting. Sebab, tidak semua lokasi di wilayah persebaran Topeng ini memperlihatkan indikasi pentingnya Topeng. Menurut catatan Ninuk, terdapat 60 grup Topeng yang ada di wilayah Jabotabek pada tahun 1975. Persebaran grup Topeng tersebut dapat dilacak berdasarkan beberapa wilayah yang ada, saat menggelar pertunjukan. Untuk Kabupaten/Kodya Bogorr misalnya, ada dua kecamatan (Cibinong dan Cimanggis) yang memiliki grup Topeng. Di kawasan Tangerang terdapat tujuh kecamatan (Curug, Cikupa, Balaraja, Tigaraksa, Kronjo, Kresek, Rejeg). Di Bekasi lebih banyak lagi, yakni 10 kecamatan (Bekasi, Tambun, Cikarang, Cibitung, Setu, Lemah Abang. Sukatani, Pebayuran, Babelan, Pondok Gede). Sedangkan DKI Jaya empat kecamatan (Koja, Jatinegara, Kramat Jali, Pasar Rebo). Dari beberapa wilayah persebaran grup Topeng, masing-masing kabupaten mempunyai pusat Topeng tersendiri. Balaraja misalnya dijadikan pusat Topeng di Tangorang, Tambun dan Babelan sebagai pusat Topeng di Bekasi, dan Pasar Rebo adalah daerah Topeng di DKI Jaya. Adapun persebaram grup dalam suatu wilayah geografis tidak berbeda dari persebaran pengguna Topeng. Hal itu disebabkan karena suatu grup Topeng bermain di wilayah tertentu yang sudah dilakukannya sejak dulu.
Wilayah persebaran Topeng di Jabotabek tersebut, sebenarnya masih terbagi ke dalam tiga kelompok Topeng, berdasarkan ciri bahasa, penggunaan tempat pertunjukan dan kekhasan pagelaran. Grup Topeng di Tangerang tampaknya berdiri sendiri (daerah ini lebih dikenal sebagai wilayah Lenong), sedangkan di wilayah lain dikenal dua bentuk Topeng yang menurut istilah setempat adalah Kanda Wetan dan Kanda Kulon, Wetan adalah timur, dan kanda berarti daerah, Dengan demikian, grup yang termasuk Kanda Wetan adalah grup-grup dari Bekasi, sedangkan grup yang termasuk dalam Kanda Kulon adalah grup-grup dari DKI dan Bogor bagian utara. Sementara itu, ada grup peralihan yang berdiri diantara Kanda Wetan dan Kanda Kulon. Berdasarkan bahasa yang digunak dalam pagelaran, grup-grup Topeng Tangerang menggunakan bahrasa Sunda. Pasar Rebo dan Bekasi, pagelaran Tope menggunakan bahasa Melayu Betawi.
Pergeseran Waktu
Seiring pergeseran zaman, Topei Betawi tampaknya telah terjadi transformasi yang menggambarkan perubahan Topeng Ada lima bentuk perubahan yang disebabkan oleh urutan waktu dalam sejara Pertama, esensi Topeng yang sakral dan magis tak lagi menjadi motivasi bagi yai punya hajat. Topeng tak lagi berfungsi sebagai penolak bala atau nazar bagi anak yang sering sakit-sakitan, karena memar puskesmas makin mudah dijangkau.
Kedua, pagelaran yang diselenggarakan dalam lingkup tradisi yaitu ritus perkawinan dan khitanan, juga mengalami pergeseran ke arah ritus nasional. Ketiga, keragaman estetika yang muncul dalam Kanda Wetan dan Kanda Kulon pun mulai menghilang karena masuknya para pendatang ke daerah orang-orang Betawi. Termasuk berbag bentuk kedok yang memperlihatkan ks ragaman topeng, hilang secara perlahai lahan. Terakhir, kedok Bapak Jantuk pui sudah tidak dikenal lagi.
Keempat, ruang lingkup seni pertunjuka mengalami pergeseran. Jika dulu (tahun 70-an) masih berlangsung hingga pukul 4 pag lama kelamaan bergeser durasinya, paling lambat pukul 3 atau lebih maju pukul 1 dini hari sudah harus dihentikan karena oran harus bersiap diri untuk sembahyang Subu agar tidak kesiangan.
Kelima, narasi pagelaran Topeng, tak lagi mengangkat tema kemiskinan di wilayar wilayah tuan-tuan tanah, dan telah beralih dengan mengunakan isu nasional yang kadang menjadi legitimasi kepentingan politik tertentu.
Bisa dirasakan, berkembangnya zaman telah merubah historical sequences Topeng tidak saja secara fisik tetapi juga ideologinya. Dengan kata lain, telah terjadi pertumbuhan keragaman budaya, dalam hal ini keragaman
pagelaran Topeng. Itu bisa dimaklumi, mengingat rasa memiliki terhadap budaya Betawi, kini bukan hanya milik orang Betawi saja, tapi juga dimiliki para pendatang yang ingin melestarikan budaya Betawi menurut zamannya.
Share on Google Plus

About Facemall

Ikut melestarikan kebudayaan indonesia
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment