ESSAY: Betawi = Betah di Wilayah oleh Chairil Gibran Ramadhan


1.MUNGKIN karena sudah lebih dua tahun tidak pulang dan hari-hari ini aku memang mengingat-ingat terus kampungku, maka malam tadi aku kembali bermimpi tentang orang-orang di sana. Kali ini Nawi Encek yang datang bersama isteri dan tiga orang anaknya.
Ketika kuceritakan pada isteriku, ia hanya memintaku bersabar menunggu akhir tahun depan. Ia juga sempat bergurau, rupanya hari-hari ini darah ibuku sedang melebihi jumlah darah bapakku. Aku mengerti kata-katanya. Aku lahir dari dua orangtua yang berasal dari (d)arah sangat berbeda. Ayah berdarah Arab, bangsa pengembara yang terbiasa jauh dari tanah kelahiran bahkan meninggalkannya hingga ajal, sedangkan Ibu berdarah Betawi yang sangat kental keterikatannya pada rumah dan orangtua. Bahkan, pernah kudengar ayah memanjangkannya ketika lulus dari perguruan tinggi aku hanya menginginkan perusahaan-perusahaan di Jakarta. “Kalau ingin maju harus berani merantau. Jangan lahir, besar, tua dan mati di kampung sendiri. Jangan betah di wilayah.” Dan setelah bekerja aku mendapat jodoh perempuan Minang yang sangat kuat kebiasaan merantaunya.
Aku pun akhirnya tinggal dan bekerja jauh dari rumah dan orangtua. Ayah sangat mendukung keputusanku menerima tawaran kerja yang datang hari itu, meski ibu melarang. “Ngapain nyari duit jauh-jauh? Orang ajah dari mana-manah nyari makan di sinih.”
“Ayah[1] pengen maju, Mak. Ayah kagak mao sampe mati ngejedog di kampung kendiri. Ayah kagak mao betah di wilayah.”
Ayah tersenyum-senyum dan Ibu langsung masuk ke kamar. Menangis.
Ibu terus menangis hingga di malam aku berangkat ke Osaka ini.

2.POTONGAN kisah di atas saya ambil dari cerpen “Keleang” yang terdapat dalam antologi tunggal pertama saya, “Sebelas Colen di Malam Lebaran” (Masup Jakarta, 2008). Perhatikan penuturan tokoh utama yang mengingat-ingat Betawi kampungnya lantaran sudah dua tahun tidak pulang dan sang istri yang non-Betawi mencandai bahwa darah ibu mertuanya (Betawi) sedang melebihi jumlah darah bapak mertuanya (Arab) di dalam tubuh suaminya. Perhatikan pula penuturan tokoh ibu yang keberatan anaknya menerima tawaran bekerja di Jepang, sementara tokoh ayah sangat mendukung keputusan untuk pergi. Budaya Betawi dengan budaya Arab, seperti ditulis dalam cerpen itu, bagaimanapun memang sangat berbeda. Orang Arab merupakan bangsa pengembara yang terbiasa jauh dari tanah kelahiran bahkan meninggalkannya hingga ajal. Sebaliknya, orang Betawi sangat kental keterikatannya pada rumah dan orangtua.
Merantau, sejak jaman baheula bagi orang Betawi memang merupakan “kata asing”. Maka tidak akrab diucapkan dan dilakukan dalam keluarga Betawi. Seakan kata itu hanya untuk suku lain dan orang Betawi “haram” dalam mendukung, mengucapkan, dan terutama melakukanya. Ironisnya hingga kini, di tengah kemajuan jaman dalam segala hal dan semakin banyaknya anak-anak Betawi yang bersekolah tinggi, kata “merantau” masih saja merupakan “kata asing”, baik oleh golongan tua maupun golongan muda Betawi, meski tidak seluruhnya. Orang-orang tua Betawi, akan menganggap anak Betawi yang merantau sebagai “kurang Betawi”—lantaran biasanya akan berubah cara berpikirnya, cara bicaranya, bahkan mungkin selera makannya. Mereka memegang betul prinsip: “Mendingan mati di kampung kendiri daripada mati kampung orang.” Sedangkan golongan mudanya, umumnya lantaran tidak mau jauh dari orangtua dan “Untuk apa cari makan di kampung orang? Orang lain saja cari makan di kampung kita.”
Meruntut ke masa lalu, misalkan saja ketika Belanda mulai menginjakkan kakinya di tanah Betawi (lantaran saat itu Betawi bukan tanah kosong atau hutan belantara yang hanya berisi nyamuk dan monyet), sesungguhnya kata “merantau” menjadi “kata asing” lantaran orang Betawi menjadi penghuni asli daerah yang kemudian menjadi pusat segalanya: Ekonomi, sosial, budaya, politik, dan pemerintahan. Lihat bagaimana tanah Betawi dengan pesatnya didatangi orang-orang dari negeri Belanda, Portugis, Inggris, Cina, Arab, India, Jawa, Sunda, Bali—dan di masa setelah kemerdekaan didatangi orang dari segenap penjuru nusantara—untuk mengubah hidup dan kemudian beranak-pinak di dalamnya. Maka orang Betawi, seperti diwakili tokoh ibu dalam cerpen “Keleang”, berprinsip: “Ngapain nyari duit jauh-jauh? Orang ajah dari mana-manah nyari makan di sinih.”
Pola pikir yang sudah ratusan tahun inilah yang kemudian mengalir di dalam darah orang Betawi, hingga akhirnya mereka dikenal “enggan merantau”, bahkan terkesan “takut merantau”.Ini kunci segalanya.
Maka secara jenaka, Betawi pun diistilahkan dengan “betah di wilayah”.

3.PERKARA keengganan orang Betawi untuk merantau kiranya betul adanya (meski tidak mutlak, karena ada pula orang Betawi masa kini yang lantaran kendala ekonomi menjadi “tidak ada biaya meski niat untuk merantau sudah bulat”). Beberapa contoh kasus yang saya temui, mungkin dapat dijadikan gambaran.
Seorang teman masa kecil misalnya, menolak tawaran menjadi supervisor sebuah retail yang akan membuka cabangnya di Yogyakarta. Ia tetap memilih menjadi bawahan pada retail tersebut di daerah Bintaro. Katanya karena seminggu sekali bisa pulang dan tidak begitu jauh dari rumah orangtuanya di Pondok Pinang. Atau cerita seorang yang bekerja di sebuah kapal pesiar yang berkeliling Eropa, bahwa ada seorang Betawi yang baru dua hari bekerja di sana lantas memutuskan berhenti lantaran setiap tidur bermimpi tentang “emak”, “baba”, dan “sayur asem”—padahal gajinya belasan juta sebulan. Atau seorang yang saya kenal memilih kuliah di Institut Kesenian Jakarta (Cikini) daripada di Institut Seni Indonesia (Yogyakarta), padahal disiplin ilmu yang ada di IKJ tidak begitu diminatinya. “Yang penting kuliah seni, Bang.” katanya kepada saya.
Dan meski dosen di Fakultas Ilmu Budaya UI, Maman S. Mahayana, pernah mengatakan bahwa untuk mengukur sebuah suku maka ukurlah dengan suku itu sendiri, namun saya mencoba membandingkan sepak terjang orang Betawi dengan orang Minang dalam hal merantau.
Sejak jaman dahulu, orang Minang terkenal gemar merantau, hingga menjadi hal biasa saja bagi mereka jika kemudian memiliki kehidupan baru di tanah yang didatanginya hingga beranak-pinak dan menemui ajal—seperti juga orang Arab, Cina, atau Jawa. Dan membaca sejarah masyarakatnya, saya menjadi teringat tokoh-tokoh politik berdarah Minang—semisal Tan Malaka (“the real Indonesian founding father”), Sutan Sjahrir, dan Muhammad Hatta—yang pada masa revolusi fisik menuntut ilmu hingga ke negeri Belanda. Mereka turut berperan, hingga orang Minang disebut sebagai salah satu suku dengan tingkat pendidikan tertinggi pada jaman Hindia Belanda.[2]
Lantas kemana orang Betawi waktu itu?
Lagi-lagi nada sumbang terpaksa harus saya terima dengan lapang dada: “Jangankan sekolah hingga ke luar negeri, sekolah di dalam di negeri saja mereka enggan”—dengan alasan bahwa pada masa itu institusi pendidikan formil dipegang bangsa Belanda yang beragama Nasrani (termasuk mata pelajaran dan sistem pendidikannya), sedangkan orang Betawi kental Islam-nya.[3]
(Khusus di dunia yang saya geluti, saya tidak berani membandingkan jumlah sastrawan Betawi dengan non-Betawi. Sebab jangankan menulis, membaca saja orang Betawi itu males.[4])

4.BETAWI memang suku yang unik bagi saya. Sama seperti suku-suku lain yang sesungguhnya juga memiliki keunikan dalam hal-hal tertentu. Hijrah secara fisik ke luar tanah Betawi (baca: Jakarta), dianggap orang Betawi sebagai “bukan care kite” dan terkesan “kalah”, lantaran di saat yang bersamaan suku-suku lain berdatangan ke kampungnya. “Jadi kenapa harus meninggalkan kampung sendiri?” Namun pada jaman Hindia Belanda, “kalah” dengan menjadi bediende (pembantu) di rumah orang Belanda, dianggap mentereng oleh orang Betawi—lantaran mereka sangat menolak menjadi pembantu bagi suku-suku lain di nusantara, bangsanya sendiri. Padahal di tengah penjajahan yang dilakukan Belanda pada masa itu, menjadi pembantu di rumah orang Belanda sesungguhnya merupakan “penjajahan kuadrat”. Namun meski menjadi bediende, jongos, bujang, babu, atau pembantu, orang Betawi yang terkenal sangat egaliter itu “ogah kalah-kalah amat”. Makanya mereka kurang “menaruh hormat” pada majikannya. Mereka hanya “menaruh takut”: Takut dimarahi, takut dipukul, takut dipecat. Inilah yang menyebabkan mereka seringkali kurang hormat pada majikan, terlebih jika kemudian majikan itu pada masa kini—dengan sangat terpaksa—adalah “bangse kendiri”.

Begitulah.

Tabe!
Share on Google Plus

About Facemall

Ikut melestarikan kebudayaan indonesia
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Post a Comment